Akhirnya, tibalah kita pada Ulysses. Berkat kang Sigit, kita di Indonesia sudah tidak asing lagi sama ini novel. Setidaknya sudah beberapa kali di media cetak kita muncul tulisan tentang Ulysses, meskipun konon sulit mencari bukunya di sini.
Sekadar informasi: Ulysses terbit pada tahun 1922 setelah digarap selama delapan tahun, tebalnya berkisar antara 700 sampai 1000 halaman tergantung cetakannya, pernah mengalami pelarangan (biasalah, James Joyce, kurang afdol rasanya kalau novelnya tidak menuai pencekalan, ) di Amerika selama lima belas tahun, disebut-sebut sebagai novel terbesar abad ke-20 (bahkan ada sumber-sumber yang secara sepihak mengklaim novel ini sebagai capaian terbesar dalam sastra berbahasa Inggris sejauh ini!).
Ulysses Vs. Odyssey?
Ulysses mengambil struktur cerita dari Odyssey karya penyair purba Homer. Secara petualangan, memang Odyssy dan Ulysses sama sekali berbeda. Odyssey yang penuh warna-warni petualangan (darat, laut) tidak bisa dibandingkan dengan Ulysses yang nir-petualangan. Ulysses hanya meminjam motif-motif dalam Odyssey untuk kemudian dibuatkan padanannya dalam konteks kehidupan Dublin jaman modern. Jika dalam bagian Telemachus, dikisahkan bagaimana Telemachus memulai perjalanan mencari ayahnya, maka dalam Ulysses bab pertama (yang pernah diberi judul Telemachus, sebelum akhirnya dijadikan angka) dikisahkan bagaimana Stephen mulai dikupas isi otaknya dan tampaklah bahwa dia ada pemuda yang sedang terombang-ambing dan tinggal di menara. Pada bagian Scylla dan Charybdis, dalam Odyssey dikisahkan ada pusaran pemakan kapal (Charybdis) dan monster pemangsa pelaut yang lolos dari pusaran Charybdis (Scylla), namun dalam Ulysses yang ada adalah sebuah perdebatan di mana Stephen Dedalus terpaksa harus berada di dua pendapat yang lazim diterima. Kira-kira seperti itulah hubungan antara keduanya.
Oh ya, dalam buku James Joyce’s Ulysses, Stuart Gilbert menyebutkan sejumlah paralel antara Ulysses dan Odyssey. Antara lain adalah: 1. Ulysses berisi hampir semua dialek yang ada dalam bahasa Inggris dan Odyssey ternyata menunjukkan sejumlah dialek bahasa Yunani, 2. Ulysses diketahui sebagai karya yang isinya sangat akurat dan nyata, dan Odyssey juga, dsb.
Ulysses sendiri?
Kisah Ulysses berlangsung dalam satu hari satu malam yang biasa, yakni tanggal 16 Juni 1906. Semua orang menghubung-hubungkan hari ini dengan hari kencan pertama Joyce dengan Nora. Memang tidak salah. Dan akan berdoa rasanya jika saya tidak menuliskan itu, . Mungkin novel ini adalah persembahan Joyce kepada dunia sekaligus kepada sang istri tercinta. Kembali lagi, Ulysses adalah kisah sehari-semalam biasa dalam kehidupan tiga orang biasa di kota metropolitan Dublin. Cerita dimulai ketika Stephen Dedalus (yang sebelumnya menjadi tokoh utama dalam A Portrait of the Artist as a Young Man) baru bangun pagi di Menara Martello bersama seorang kawan dan seorang lagi teman dari kawannya itu. Kemudian dilanjutkan dengan Stephen mengajar pelajaran sejarah di sebuah sekolah dasar. Kemudian Stephen jalan-jalan ke pantai sambil menulis puisi. Selanjutnya cerita beralih ke Leopold Bloom yang juga baru bangun pagi dan kemudian jalan-jalan mencari sarapan. Selanjutnya diceritakan pula si Leopold Bloom berangkat ke kantor pos, perpustakaan, surat kabar, pemakaman. Dan pada sore harinya Stephen Dedalus pergi ke rumah sakit di mana dia melihat orang melahirkan, pergi ke lokalisasi dan kemudian bertemu Leopold Bloom. Selanjutnya Stephen dan Leopold Bloom pergi ke rumah Bloom untuk sekedar minum-minum. Stephen menolak menginap dan kemudian keluar untuk pipis bareng Leopold Bloom (btw, saya dilarang melewatkan bagian pipis ini lho!). Pada akhirnya Stephen pulang dan Bloom merebahkan tubuh di ranjangnya, di mana Ny. Bloom sudah hampir bangun. Cerita ditutup dengan Molly yang setengah bangun setengah tidur itu meracau dalam pikirannya tentang berjuta hal.
Begitulah yang terjadi dalam buku setelah 700-1000 halaman itu. Terbukti bukan, ini benar-benar hari yang biasa bagi seorang manusia. Tapi, apakah sebuah hari yang biasa adalah hari yang tidak berarti bagi seorang manusia? Apakah Anda yakin tidak ada pelajaran yang bisa dipetik dari sebuah hari yang wajar? Setiap hari adalah unik bagi seorang manusia? Dan itulah yang Joyce lakukan: dia mengabadikan sebuah hari dalam kehidupan manusia (dengan diwakili tiga orang saja), dia abadikan segala pikiran yang bersilang-sengkarut dalam otak ketiga tokohnya, dia tunjukkan apa saja yang ada dilihat dan dirasa tokoh-tokohnya itu, apa saja yang terasa biasa-biasa namun tampak luar biasa jika direnungkan. Dengan Ulysses yang setebal bantal untuk menggambarkan kejadian 24 jam, Joyce menunjukkan bahwa dalam sehari kita melihat, memikirkan, merasakan berjuta obyek, subyek, dan sensasi yang tak lama lagi pasti akan kita lupakan (atau kalau memang ada yang diingat, pastilah hanya sedikit). Saking banyaknya pengalaman kita dalam sehari, kita tak sadar bahwa sebenarnya diri kita adalah sebuah ensiklopedia jika setiap yang kita indera dan pikirkan itu kita catat. Maka, ketika para kritikus menyebut Ulysses sebagai novel yang ensiklopedis (meski tanpa memberi definisi), kita pun akan sadar bahwa sebenarnya kitalah yang ensiklopedis. Dan Joyce kebetulan orang pertama yang menyadarinya.
“Tuhan menciptakan benda-benda, dan Joyce menceritakan pengalaman kita dengan benda-benda itu,” demikian saya kutip dari Donny Gahral Adian yang mengutip dari siapa tidak dia sebutkan.
Ada lagi yang lain di Ulysses?
Ya, sekarang giliran kita mengurai The Art of Ulysses (cukup berwibawa kan untuk judul sebuah buku, kan? ) Ulysses yang terdiri dari delapanbelas bab itu memiliki delapanbelas gaya penceritaan. Sebagian dari kedelapanbelas gaya narasi itu terkesan tidak jauh berbeda dengan gaya prosa pada umumnya (disusun dalam paragraf-paragraf, disertai banyak dialog, tanpa dialog) tapi ada sebagian yang unik dan merupakan pendobrakan terhadap jamannya (narasi berbentuk artikel-artikel pendek, terdiri dari banyak episode yang terjadi bersamaan di tempat yang berlainan dan kemudian saling bersilangan, berbentuk tanya jawab, interior monolog superpanjang tanpa tanda baca sedikitpun kecuali sebutir titik di penghujung buku). Setiap bab diberi sentuhan suasana khusus dengan penggunaan diksi-diksi tertentu yang mendukung suasana cerita.
Di samping itu, kegemaran Joyce dengan bahasa dan kesan yang ditimbulkan bunyi kata-kata mulai digeber dalam novel ini—setelah sebelumnya pada A Portrait hanya ditampakkan sedikit. Maka, akan kita temukan banyak main-main serius dengan bahasa dalam Ulysses.
Dalam menulis Ulysses yang ensiklopedis itu, Joyce menggelar cakrawala pengetahuannya dan dia tumpahkan semua yang pernah dia baca dan dengar ke dalam setiap lembarnya. Hasilnya: di setiap lembar Ulysses kita akan temukan jejak-jejak dari tulisan/penulis terdahulu yang pernah Joyce baca sebelum tahun 1922 itu. Namun, berbeda dengan kebanyakan karya yang (dengan tujuan menghormati penulis yang dikutip) memberikan keterangan berupa catatan kaki atau lainnya, James Joyce membiarkan bukunya bersih dari catatan kaki, James Joyce membiarkan kutipan-kutipan itu tenggelam dalam karyanya dan menyatu—jika memang memungkinkan. Kelak Don Gifford menyusun sebuah buku tak kalah tebal berjudul Ulysses Annotated yang dimaksudkan untuk mengurai anyaman intertekstualitas, mengorek-korek jejak penulis, tulisan, gagasan, tradisi, dan mitos yang bersemayam di balik Ulysses. Maka, petulangan membaca Ulysses pun bisa diperluas. Dan Joyce sendiri menjadi “panjang umur” karena masih terus dibahas sekalangan Joycean yang ingin tetap menyelami Ulysses.
Bagaimana dengan pembaca?
Dengan sejumlah kehebatannya itu Ulysses dinobatkan sebagai novel paling bergizi dalam abad ke-20. Komposisi serta kepadatannya memenuhi selera para kritikus. Namun, seperti dikatakan Martin Amis kritikus-peresensi sekaligus novelis Inggris, Ulysses bukanlah buku yang ramah-baca, Ulysses adalah buku yang ramah-Joyce, memenuhi selera Joyce (dan tentu saja para Joycean) sahaja. Di resensi yang Amis buat atas edisi terbaru Ulysses, dia menyebutkan kenal seorang penyair yang ke mana-mana selalu menenteng Ulysses, novelis yang tiap malam mengaji Ulysses, atau esais yang di toiletnya ada Ulysses. Tapi tak satu pun dari mereka menikmati Ulysses sebagai sebuah bacaan wajar, dalam artian membaca novel itu mulai awal hingga akhir untuk menikmati jalan ceritanya dan apa-apa saja yang ditulis di dalamnya. Kebanyakan menikmatinya pada bagian-bagian tertentu saja untuk menikmati bahasanya. Dan dari banyak tulisan yang orang buat tentang Ulysses, tentang apa-apa yang tersembunyi di balik Ulysses, novel ini tampak semakin agung, semakin sulit, semakin tak terjangkau.
Dan itulah kiranya yang membuat Stephen Joyce, cucu James Joyce, satu-satunya yang tertinggal dari garis James Joyce sekaligus yang terakhir, selalu mempersulit upaya kritikus yang meminta hak cipta darinya untuk mengutip lebih dari 40 kata.
Menurut Stephen Joyce, Ulysses adalah novel yang bisa dibaca secara wajar (‘in readerly fashion’) jika saja kita mau membacanya seperti biasa kita membaca novel. Seseorang yang berusia tak jauh-jauh amat dari Stephen Dedalus dalam Ulysses, yakni 20-an tahun, pasti akan menemukan adanya kesamaan antara pengalaman mereka dan pengalaman batin Stephen Dedalus. Maka, dia pun selalu ogah bekerjasama dengan upaya-upaya tafsir terhadap Ulysses yang malah membuat Ulysses tampak menakutkan.
Akhirul kalam, untuk detil mengenai jalannya Ulysses, saya serahkan kepada Kang Sigit untuk mengurai Ulysses dari hasil mengajinya ke Kanjeng Guru Joycean Fritz Senn dari Zurich.
P.S. Semua kata Odyssey dalam tulisan ini mengacu pada Odyssey karya Homer, sama sekali bukan Odyssey Absolute keluaran Honda yang cantik luar biasa itu. Alah!!!!….
*Oleh : Eko Wawan Yulianto
diposkan 14 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar