Halte trem Bellevue di pinggir danau Zürich terlihat semarak pada Sabtu, 24 Oktober 2009. Sebuah festival sastra digelar selama tiga hari (23-25/10) dengan tajuk “Malam Panjang, Cerita Pendek“ (Die Lange Nacht, der kurzen Geschichten). Dimaksudkan pembacaan cerita pendek, puisi, fragmen, biografi, dan surat dari para sastrawan dilakukan dari pagi hingga tengah malam. Acara setahun sekali yang sudah memasuki tahun ke empat ini dimotori oleh perhimpunan penerbit dan toko buku di kota Zürich.
Salah satu acara yang tergolong unik adalah pembacaan karya sastra dan biografi sastrawan dalam trem. Ada tiga trem yang disiagakan: Max-Frisch Tram, James Joyce Tram, dan Krimi Tram. Trem-trem mengelilingi kota Zürich dan melewati tempat-tempat yang pernah disinggahi sastrawan bersangkutan. Misalnya, Max-Frisch Tram, trem ini membicarakan karya dan sastrawan Swiss, Max-Frisch. Demikian pula dengan James Joyce Tram, tentang James Joyce dan Krimi Tram, tentang cerita kriminal.
Pengunjung datang dari berbagai kalangan masyarakat dan kota lain. Mereka harus jauh hari memesan tiket ke kios tiketaria kota. Jangan harap akan dapat tempat duduk, tanpa reservasi sebelumnya.
Menjelang pukul 16.00, bersiaga trem biru yang masih baru di halte Bellevue. Pada bagian depan atas trem tertulis James Joyce Tram. Satu persatu penumpang memasuki tiga gerbong panjang yang saling berhubungan. Di depan pintu ditawarkan minuman anggur. Trem khusus ini tidak menaikkan atau menurunkan penumpang di halte-halte umum. Tiga gerbong penuh, memuat sekitar 80 orang.
Ketika trem beranjak, Fritz Senn, seorang pakar Joyce mulai bercerita dalam bahasa Jerman, bahwa Joyce pada tahun 1904 bersama pacarnya Nora Barnacle beremigrasi dari Dublin ke Zürich. Sayang, Berlitz school yang mengurusnya, merasa tidak ada pekerjaan untuk Joyce, maka ia dikirim ke Trieste, Italia. Ketika pecah Perang Dunia pertama, Joyce mengungsi ke sini lagi. Selama empat tahun ia dan keluarganya tinggal di Zürich, sudah pindah rumah selama tujuh kali. Informasi ini mendadak memanen tawa dari para penumpang trem.
Laju trem sedikit lebih pelan daripada biasanya. Tepat di depan sebuah kafe Kronen Halle, Senn dengan corong mikrofon menandaskan, bahwa di sebelah kanan ada kafe yang dulu sering dipakai Joyce minum dengan kawannya. Tak lama lagi, ketika trem menyeberangi Bahnhofstrasse, Senn buru-buru bilang, Joyce menulis sebuah puisi berjudul Bahnhofstrasse.
Bahnhofstrasse
The eyes that mock me sign the way
Whereto I pass at eve of day.
Grey way whose violet signals are
The trysting and the twining star.
Ah star of evil! star of pain!
Highhearted youth comes not again
Nor old heart`s wisdom yet to know
The signs that mock me as I go.
(James Joyce)
Kemudian berganti, seorang mahasiswa jurusan seni teater membacakan puisi tersebut dalam teks aslinya bahasa Inggris. Trem terus bergerak membelok ke kanan dan menikung tajam. Senn menjelaskan lagi, halte trem di sini dulu bernama Ulysses, karena Joyce tinggal di sebelah situ menyelesaikan novel besarnya Ulysses. Tapi pemerintah kota kemudian mengganti nama halte itu. Trem terus berjalan, sementara secara bergantian dua mahasiswa membacakan surat-surat Joyce atau surat dari Frank Budgen, kawan Joyce kepada Joyce. Saat trem menanjak ke daerah kuburan Fluntern, Senn segera mengambil alih mikrofon sambil menjelaskan, bahwa di makam Fluntern sini Joyce dikuburkan bersama istrinya, dekat dengan Elias Canetti, sastrawan Austria.
Genap satu jam perjalanan, trem kembali ke halte Bellevue lagi. Pada saat ini lah dibacakan petikan bab akhir Ulysses berupa monolog-interior Molly Bloom. Tepuk tangan bergemuruh dari penumpang trem menandai berakhirnya acara.
Lain di trem, lain pula kegiatan di darat. Di halte Bellevue mudah dikenali berderet meja menjajakan berbagai judul buku dari beberapa penerbit dan toko buku. Penerbit AMMAN, misalnya, tak hanya menjual karya-karya Fernando Pessoa, namun juga menjual pins hitam dan merah sosok Pessoa memakai topi dan jas. Satu pins dijual dengan harga 1 Euro. Toko buku Orell Füssli selain menjual buku juga menyediakan sup gratis berisi makaroni berbentuk abjad kecil-kecil dari A sampai Z. Toko buku terbesar di Zürich ini juga membagikan buku gratis berjudul “Kata-Kata Bertenaga“(Starke Worte) dari pengarang-pengarang Swiss.
Masih di halte Bellevue tampak mondar-mandir beberapa perempuan muda mengenakan badge “Lange Nacht, der kurzen Geschichten“ sambil menenteng map. Catherine Villiger, salah satu dari mereka menawarkan jasa membaca karya sastra pada publik secara gratis. Ada dua pengunjung perempuan terpikat tawarannya. Ia buka selembar kertas biru berlaminating. Di situ tertera di deret bagian kiri, berbagai tema yang bisa dipilih. Antara lain tema: masa muda, cinta, hobi, pekerjaan, sakit atau meninggal, Zürich atau Swiss. Sementara di bagian kanan bawah, berderet nama pengarang. Mereka antara lain: Gottfried Keller, Thomas Mann, Robert Walser, Elias Canetti, Ingeborg Bachmann, dan Hugo Loetscher. Di atasnya ada kolom waktu pembacaan: 1, 20 detik, 2 menit atau maksimal 3 menit. Seorang pengunjung memilih tema: hobi dari sastrawan Elias Canetti. Catherine mengambil lembaran teks dan membacakan sambil berdiri.
Usai membacakan sebuah teks pendek, Catherine tampak beralih duduk di depan meja menghadap mesin ketik. Ia melayani pengunjung lain yang bersedia mengarang cerita, dan ia yang mengetiknya. Seorang pengunjung laki-laki mengkerutkan dahi, mungkin sedang mencari fantasi. Tiba-tiba pengunjung itu mengucurkan pengalamannya, saat pertama kali menginjakkan kaki di Zürich. Kalimat demi kalimat didiktekan. Catherine dengan sabar mengetiknya. Satu kisah pendek tuntas diketik, mereka saling tertawa. Catherine memasukkan hasil ketikannya di sebuah map sambil berucap, “Kini aku lebih tahu dari yang aku tidak ketahui tentang kota Zürich.“ Kertas ketikan itu ia simpan di sela-sela kumpulan kertas kisah-kisah orang lain. Menurut ketua panitia, Bernd Zocher, selama tiga hari, tiga malam telah digelar lebih dari 100 acara sastra.
Sore semakin tua, keramaian kegiatan beralih ke dalam kafe atau gedung tertutup. Maklum, musim gugur telah tiba, suhu di luar mencapai 10 derajat celcius. Di gedung Bernhard-Theater, Falkenstr.1 ada sebuah talk-show mengenai Simone de Beauvoir. Akan hadir Alice Schwarzer, kawan dekat Simone. Waiting for Godot karya Samuel Beckett juga dibacakan malam itu di gedung Kulturhaus Helferei, Kirchgasse 13.
Di antara berbagai acara pembacaan karya, yang tak kalah meluber pengunjungnya, hadirnya novelis Mesir, Alaa al-Aswani. Penulis novel best-seller dua tahun berturut-turut di negara-negara Arab The Yacoubian Building ini terbang langsung dari Kairo. Kebetulan penerbitnya versi Jerman, Lenos Verlag berada di Basel, Swiss.
Bertempat di NZZ-Bistro, Seenstr.12, para pengunjung sudah datang satu jam sebelum acara dimulai pukul 19.30. Sepotong kertas kecil tertulis “Ausverkauft“ (tiket habis) menempel di pintu kaca. Al-Aswani masuk ruangan mengenakan jas hitam dengan dasi merah tua. Penampilannya lebih resmi, tak seperti penulis yang sering santai. Hartmut Fähndrich, penerjemahnya bahasa Jerman duduk mendampingi. Segera saja dilontarkan pertanyaan dengan bahasa Inggris seputar kepopulerannya.
“Tuan Al-Aswani, sejak novel Anda The Yacoubian Building, Anda menjadi terkenal. Padahal lima tahun lalu belum. Bagaimana Anda memaknai kepopuleran?“
“Ya, Good,“ katanya yang disambut tawa hadirin, “sukses tidak datang dengan sendirinya. Tapi hasil dari kerja kerasku untuk memilih kata yang saling terkait. Aku memerlukan waktu satu sampai tiga tahun untuk satu novel. Kehidupanku mulai berubah, terbang ke banyak negara, karena novel tersebut diterjemahkan ke dalam 23 bahasa. Otomatis aku jarang bertemu istriku.“
“Bisa diceritakan awal mula novel itu ditolak penerbit?“
“Di negeriku, sensor karya itu ada. Yah, karena penerbit swasta enggan menerbitkan, maka aku tawarkan ke penerbit yang dikelola pemerintah Mesir. Ternyata tiga kali ditolak. Alasannya ada tokoh protagonis yang mengkritik pemerintah. Lalu aku jawab, tokoh di novel itu tidak selalu mewakili diriku sebagai penulis. Apakah kalau tokohnya seorang pencuri, aku juga otomatis sebagai pencuri? Pemerintah tetap mendesak, agar aku menandatangani sebuah pernyataan resmi, bahwa sebagai penulis tidak setuju dengan karakter sang tokoh novel yang aku ciptakan sendiri.“
Kisah konyol ini menuai gelak tawa dari hadirin di ruangan. Aku-Pencerita dalam novel diyakini Al-Aswani sebagai bentuk yang paling ideal. Ia enggan meniru eksperimen baru penulisan novel yang dianggap membingungkan pembaca. Baginya bahasa harus jelas dan mudah dipahami. Dilanjutkan pembacaan novel terbarunya berjudul Aku ingin, aku menjadi orang Mesir (Ich wollt, ich würd Ägypter). Ia baca dalam bahasa Arab, kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman oleh Hartmut Fähndrich. Acara ini ditutup dengan book signing. (Sigit Susanto)
*Lihat foto kegiatan dari panitia:
*lihat foto di facebook:
diposkan 12 November 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar