keterangan :
Bisa dipahami, zaman itu kedua negara Amerika dan Inggris Raya masih konservatif. Uniknya di Paris justru diadakan perayaan kecil-kecilan atas Bloomsday. Tradisi perayaan di Paris inilah yang menyebar hingga kini. Untungnya tahun 1934, pengadilan di Amerika meninjau ulang pelarangannya dan menyatakan, bahwa Ulysses bebas dari muatan pornografi. Sejak itu Ulysses boleh masuk Amerika dan Inggris Raya.
Sabtu, 16 Juni 2007 aku bertandang ke Yayasan James Joyce di kota Zürich, tempat aku mengaji Ulysses. Dari selebaran yang kudapat sebelumnya, perayaan Bloomsday kali ini ada tiga kegiatan:
Sabtu, 16 Juni 2007 aku bertandang ke Yayasan James Joyce di kota Zürich, tempat aku mengaji Ulysses. Dari selebaran yang kudapat sebelumnya, perayaan Bloomsday kali ini ada tiga kegiatan:
1. Napak tilas rumah-rumah Joyce dan makamnya di kota Zürich,
2. Bedah buku tentang kawan Joyce bernama:Carola Giedion-Welcker,
3. Pembacaan Ulysses oleh duta besar Irlandia untuk Swiss.
2. Bedah buku tentang kawan Joyce bernama:Carola Giedion-Welcker,
3. Pembacaan Ulysses oleh duta besar Irlandia untuk Swiss.
Berawal di luar gedung yayasan, Pak Senn, guru mengajiku sudah menenteng tas kecil dan siap berangkat. Dijelaskan oleh Pak Senn, agar setiap peserta sudah mengantongi karcis trem, sebab kami akan berpindah-pindah trem. Adapun route yang akan dituju, mendatangi rumah-rumah yang pernah ditinggali Joyce, serta mampir pula ke makamnya.
Rumah-Rumah Joyce
Aku perkirakan ada sekitar 50-an orang dalam rombongan ini. Sebagian besar adalah orang tua. Tampak beberapa gelintir anak muda, mungkin mahasiswa jurusan sastra dari universitas Zürich. Rombongan kecil ini bergerak pelan menuju halte trem di Bahnhofstrasse. Dari sini rombongan naik trem nomor 7. Ketika turun di halte trem, segera Pak Senn menunjuk ke sebuah tulisan di tembok rumah pinggir jalan raya. Tulisan tersebut sebagai berikut:
In diesem Haus wohnte
Der Irische Dichter
James Joyce
Von Januari bis Oktober 1918
Er arbeitete hier den seinen Roman ULYSSES
Der Irische Dichter
James Joyce
Von Januari bis Oktober 1918
Er arbeitete hier den seinen Roman ULYSSES
Pada rumah berwarna hijau semen tersebut, Joyce menulis Ulysses. Bahkan menurut Pak Senn, di halte trem ini dulunya bernama halte Ulysses, namun akhirnya dicabut haltenya diganti dengan nama halte lain. Belakangan aku lihat plang halte trem itu disimpan di yayasan yang bertuliskan, Station Ulysses. Kemudian Pak Senn mengantarkan rombongan ke depan pintu masuk rumah tersebut. Dia bercerita, di sini Joyce sering menerawang ke arah pemandangan luar sembari menulis empat surat. Menurut buku biografi “James Joyce” dua jilid karangan Richard Ellmann disebutkan, Joyce ketika emigrasi dari Irlandia, tujuan utamanya untuk menjadi guru bahasa Inggris pada Berlitz School di Zürich, namun tidak ada lowongan, akhirnya dia dikirim ke Trieste, Italia. Di Italia pasangan Joyce dan Nora dikaruniai dua anak, Lucia dan Giorgio. Setelah Perang Dunia I berkecamuk, tahun 1915, Joyce hijrah ke Zürich lagi. Dalam kedaaan masih perang itu, Joyce tetap menulis. Lebih jauh Ellmann menulis, atas ajakan Ezra Pound, Joyce dan keluarga bertandang ke Paris. Di Paris lah Joyce menemukan dunianya yang nyaman. Di Paris, Lucia, anak perempuannya mulai bersahabat erat dengan Samuel Beckett, kawan ayahnya. Ellmann meyakinkan, Lucia sudah dua sampai tiga tahun tertarik pada Beckett. Sayangnya, Lucia sakit-sakitan, utamanya sakit jiwa. Sementara Joyce penglihatannya mulai kabur. Berkat nasihat kawan-kawannya, Joyce diminta berobat mata ke Zürich pada dokter Vogt. Sementara Lucia ditangani dokter kejiwaan di bawah pengawasan Carl Gustav Jung. Tak menyangka, ternyata Zürich menjadi tempat bermukim Joyce hingga akhir hayatnya. Dari rumah warna hijau itu, kami berjalan memotong jalan raya dan tiba di belakang rumah bertingkat. Pak Senn menerangkan, di rumah dekat pohon sana, Joyce pernah tinggal. Ketika rombongan kami beranjak ke depan pintu rumah yang pernah ditempati Joyce, rumah itu terkunci. Dan dari kaca etalase bisa dibaca tulisan, Solarium. Sebuah jasa pemanas tubuh secara elektronik, agar kulit tampak kecokelatan layaknya orang berlibur di negeri tropis.
Makam Joyce
Selanjutnya rombongan naik trem nomor 10 ke jurusan pemakaman umum Fluntern. Makam berpintu besi itu tertata rapi, bak taman yang asri. Segera bisa dilihat sebuah patung Joyce berdiri dari metal warna hitam keabu-abuan. Pak Senn menjelaskan, “Patung itu dibuat oleh seniman Amerika belakangan. Sebenarnya banyak yang tidak setuju, digambarkan Joyce merokok cerutu, juga sambil memegang buku dengan tangan kiri, apalagi tongkatnya disandarkan. Tapi mau apalagi?“ Sepertinya Pak Senn pasrah. Di depan patung tergeletak nisan dari lempengan batu marmer keabu-abuan bertuliskan:
James JoyceDublin:2.II.1882, Zürich: 13.I.1941Nora Barnacle JoyceGalway 25.III.1884, Zürich: 10.IV.1951
George Joyce
Trieste 27.VII.1905, Konstanz: 12.VI.1976
Asta Osterwalder Joyce
München:8.III.1917, Konstanz: 17.VI.1993
George Joyce
Trieste 27.VII.1905, Konstanz: 12.VI.1976
Asta Osterwalder Joyce
München:8.III.1917, Konstanz: 17.VI.1993
Mungkin karena terbatasnya lokasi makam di Eropa, sehingga wajar berlaku satu nisan dipakai untuk empat mayat pada waktu yang berselang. Di bawah nisan marmer itu bersemayam, Joyce, Nora, George, dan Asta Osterwalder.
Pada kunjungan ke makam Joyce tersebut, tak seorang pun yang tampak membawa bunga. Apalagi ada yang berdoa. Namun ada sepercik tanya dari hadirin. Misal, seorang ibu bertanya pada Pak Senn, “Apakah mayat Joyce dikremasi atau dikubur?“ Pak Senn cepat menjawab, “Mayatnya dikubur.“ Ada lagi yang bertanya, “Kenapa mayat Joyce tidak dibawa pulang ke Irlandia?“ Pak Senn dengan lugas menjawab, “Tahun 1941 itu keadaan masih perang.“ Di sebelah kiri nisan Joyce bersemayam, Elias Canetti, sastrawan asal Austria.
Pada kunjungan ke makam Joyce tersebut, tak seorang pun yang tampak membawa bunga. Apalagi ada yang berdoa. Namun ada sepercik tanya dari hadirin. Misal, seorang ibu bertanya pada Pak Senn, “Apakah mayat Joyce dikremasi atau dikubur?“ Pak Senn cepat menjawab, “Mayatnya dikubur.“ Ada lagi yang bertanya, “Kenapa mayat Joyce tidak dibawa pulang ke Irlandia?“ Pak Senn dengan lugas menjawab, “Tahun 1941 itu keadaan masih perang.“ Di sebelah kiri nisan Joyce bersemayam, Elias Canetti, sastrawan asal Austria.
Usai dari makam, rombongan naik trem lagi ke arah Belleuve dekat danau Zürich. Di sini terjadi insiden kecil, sebab ketika trem berhenti di halte, kebanyakan anggota rombongan sudah keluar, sedang sebagian kecil masih tertahan di dalam trem. Termasuk aku ikut belum keluar dari trem. Sabarlah, kiranya rombongan yang turun duluan. Kami yang beberapa gelintir ini jalan kaki menuju halte sebelumnya, tempat orang lain menunggu. Pada saat berjalan itu, ada seorang ibu tua memberitahu aku, bahwa dia dan delapan kawannya juga punya grup membaca Ulysses bersama. Ketua grupnya adalah seorang pengacara. Sebulan sekali mereka bertemu untuk membahas Ulysses. Kelompok pembacaan Ulysses dari ibu ini termasuk langka. Untuk itu aku agak kaget, dengar informasi dari dia. Sebab selama ini yang kutahu hanya di Yayasan James Joyce ada kelompok membaca Ulysses bersama. Ternyata di luar yayasan masih ada juga grup lain.
Napak tilas ke rumah Joyce selanjutnya dimulai, setelah rombongan yang terpisah tadi bergabung lagi. Pak Senn sudah menunggu di depan rumah bertingkat tiga yang jendelanya banyak pot bunga. Kata dia, Joyce juga pernah tinggal di rumah nomor 7 yang jendelanya warna hijau dan banyak pot bunganya. Di rumah itu, aku perhatikan ada tulisan Erotic Videos, Sexy-Shop. Para hadirin menatap tulisan tersebut dan mungkin maklum adanya. Toh zaman telah berganti dan Joyce bisa menumpang di situ.
Perjalanan dilanjutkan dengan menyeberangi jalan raya ke rumah yang lainnya. Rumah warna putih semua itu bertuliskan Auto-Garage atau bengkel mobil. Menurut Pak Senn, Joyce dulu juga tinggal di situ. Ditambahkan oleh Pak Senn, selama Joyce tinggal di Zürich sudah pindah rumah sebanyak 7 kali.
Sore semakin menganyam usia. Tapi awal musim panas ini langit menyorot lebih lama. Rombongan kembali ke yayasan dengan menumpang trem yang terakhir kali. Di gedung tingkat dua yang sederhana itu terdapat sebuah ruangan untuk kantor yayasan. Sedang tiga ruangan yang lain berisi rak yang menyediakan koleksi buku dari berbagai analisis tentang karya Joyce maupun terjemahan karyanya dari berbagai bahasa.
Minuman dan makanan kecil ditata di atas meja, sementara hadirin bisa bebas mengambil. Tak berapa lama lagi, slide menayangkan foto hitam putih sosok Joyce. Dilanjutkan Iris Bruderer-Oswald membedah buku karangannya sendiri. Bukunya berjudul, ”Pandangan Baru, Carola Giedion-Welcher dan Bahasa Modern“ (Das Neue Sehen. Carola Giedion-Welcker und die Sprache der Moderne.) Buku ini berkisah tentang pengalaman kawan Joyce di Zürich bernama Carola Giedion-Welcker. Uniknya lagi, buku tersebut baru akan selesai cetak dua bulan lagi. Tapi karena keburu ada hajatan Bloomsday, maka para hadirin diberi ringkasan buku tersebut dalam bentuk buku tipis. Di sela-sela istirahat, aku bertanya pada penulisnya, “Berapa lama Anda menulis buku yang tebalnya lebih dari 400 halaman itu?” Iris yang berlatar seorang doktor dari ilmu germanistik dan sejarah seni menjawab, “Lima tahun. Tiga tahun untuk riset dan untuk menulisnya dua tahun.“ Aku nyeletuk lagi, “Buku ini bisa go internasional, mengingat kawan-kawan Joyce sudah jarang yang masih hidup dan bisa memberikan kesaksian.“ Iris dengan ramah menambahkan, “Buku ini sudah kubawa pada seminar James Joyce di Budapest tempo hari dan sambutannya bagus.“ Sebelum aku menyusun pertanyaan tambahan, Iris menunjuk ke ruangan sebelah, yang katanya, anaknya kawan Joyce, Giedion ada di situ.
Acara ke acara makin menemui puncaknya. Di rungan tempat menayangkan slide sudah berganti acara baru, yakni sebuah musik Harfe dengan seruling khas Irlandia. Seorang ibu berdandan ala orang gipsi memainkan musik Harfe. Persis di sebelahnya lelaki bertopi memainkan alat seruling yang tanpa alat tiup, melainkan ada tabung penyimpan udara dikempit diketiak. Kedua musikus menduduki bangku di ujung ruangan. Beberapa orang tua tekun mendengarkan, seorang asal Irlandia, berdiri dan berdansa sendirian. Di tengah musik mengerubuti ruangan-ruangan, di situ pula makan siang digelar. Makan model prasmanan alias mengambil sendiri, mirip orang punya hajatan perkawinan zaman terkini. Tak ada nasi, tentu saja. Aku mengambil roti, buah zaitun, keju, dan keju dari susu kambing yang disebut feta. Perut mulai terisi, walau tidak begitu kenyang. Aku masih punya satu hal yang belum terselesaikan, yakni 1 Agustus 2007 ini aku dan istri akan mengunjungi Dublin selama lima hari. Pada pasporku sudah dapat visa ke Irlandia, namun ada peraturan, walau visa sudah punya, di bandara nanti, masih akan diputuskan pihak imigrasi Irlandia, layak tidaknya bisa masuk negeri itu. Saat itu pasporku aku bawa pula. Kasusku aku utarakan pada Pak Senn, walau dia sudah pernah berjanji akan membantu, mungkin dengan surat pernyataan, bahwa aku murid di Reading Groups Ulysses. Untungnya akal Pak Senn sama denganku, kali ini toh duta besarnya Irlandia punya jadwal membaca Ulysses. Dengan cekatan Pak Senn mencari duta besar yang sudah datang beberapa menit yang lalu. Celakanya, dia agak lupa wajah duta besar Irlandia itu. Bukankah di situ banyak orang lalu lalang serta sebagian berpakaian jas necis? Di tengah pintu, Pak Senn yang aku buntuti menoleh ke muka pada seorang yang sedang berdiri. Dia mungkin ingin meyakinkan bahwa orang jangkung itu benar-benar duta besar. Setelah Pak Senn merasa yakin, dia mulai bicara sambil mengulurkan pasporku. Usai dia berbicara sebentar, lalu gantian aku terangkan pada duta besar tersebut. Duta besar itu memeriksa visaku dan dengan sangat sopan meyakinkan, bahwa visaku itu sudah bisa untuk masuk Irlandia. Ngeyelku bertalu-talu. Berdasar pengalaman sering orang dari negeri seperti Indonesia diperlakukan lebih rumit. Duta besar sekali lagi melihat visa dengan saksama, kemudian merogoh dompet, maksudnya mungkin cari kartu nama. Dia tidak temukan kartu nama, sembari minta maaf. Sekali lagi dia meyakinkanku, bahwa visa itu sudah cukup. Kesanku memang dia bukan duta besar yang biasanya sombong. Sebelum kami berpisah, dia menemukan kartu nama di saku jas bagian dalam. Tertulis: Joseph Lynch-Ambassador. Embassy of Ireland. Kirschenfeldstrasse 68. CH 3005 Berne. Sore yang sudah tidak bisa disebut sore lagi, duta besar Irlandia untuk Swiss itu duduk sendirian di depan meja. Buku Ulysses dan buku besar lain sebagai sandaran kertas putih yang dipegang duta besar. Pak Senn memberi pengantar dengan sedikit melucu. Dia bilang, “Mungkin bagi duta besar di depan kita ini, membaca Ulysses lebih menyenangkan daripada tugas di kantornya.” Kontan saja, duta besar itu cengar-cengir. Pak Senn bilang, “Kali ini Ulysses akan dibaca oleh orang Irlandia sendiri yang aksennya lebih jelas. Pembacaan akan dimulai bab pertama yang bertema BREAKFAST” Pada umumnya aku agak menjaga jarak terhadap orang-orang pemerintahan. Tapi kali ini perasaanku berbeda. Apalagi dari penampilannya yang rendah hati. Di samping itu dia bersedia membaca novel, dimana peristiwa pejabat negara membaca karya sastra sangatlah langka. Dubes baca novel, ya baru ini kutahu. Dari pengamatanku, duta besar ini cukup menghayati. Utamanya tekanan suara dan aksennya yang khas Irlandia. Lagi pula dialog-dialognya serta emosionalnya alami dan terasa seperti sedang mendengarkan orang lain berkelahi. Aku simak, dia tidak membaca langsung dari novel, melainkan dari kertas-kertas yang sudah disediakan. Bisa jadi dia sudah persiapkan dan latihan sebelumnya. Beberapa menit pembacaan berakhir, disambut tepuk tangan dari hadirin. Pak Senn menyela lagi sambil memberitahu, pembacaan berikutnya pada bab Calypso. Disusul kemudian pada bab XII (The Cyclops). Dan terakhir pembacaan mengenai air. “Bloom suka sekali pada air,” kata Pak Senn. Duta besar itu mengikuti petunjuk Pak Senn yang otomatis merangkap sebagai moderator. Keseluruhannya duta besar itu telah membaca empat kali pada bab yang berbeda. Dengan berakhirnya pembacaan Ulysses dari duta besar, selesai sudah rangkaian perayaan Bloomsday tahun 2007 di kota Zürich. (Sigit Susanto)
diposkan 16 November 2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar