1900:
Joyce mulai membuat coretan-coretan prosaik pendek yang dia sebut epifani. Kejadian sehari-hari di mana dia rasakan pencerahan spiritual menjadi sesuatu yang penting. Sesuatu yang akan tertinggal lama di ingatan dia tuliskan. Joyce menegaskan kejadian-kejadian ini sebagai momen ”penyingkapan keapaan suatu kejadian”.
7 Januari 1904:
Joyce duduk manis dan mulai menulis sebuah esai, separuh cerita-separuh memoar. Isinya adalah gabungan kejadian-kejadian di masa kecilnya. Dia menjuduli tulisan pendek itu A Portrait of the Artist. (Saya sendiri belum pernah membacanya, tapi dalam bayangan saya tulisan tersebut seirama dengan Potret Seorang Penyair Sebagai si Malin Kundang-nya Goenawan Mohamad, ). Dia mulai menulis Stephen Hero.
Semester dua 1904:
Di Zurich Joyce melanjutkan beberapa bab lagi Stephen Hero.
Akhir 1904:
Di Trieste Joyce melanjutkan penggarapan Stephen Hero dan memutuskan bahwa novel ini akan berisi enam puluh tiga bab. Stephen Hero akhirnya rampung tujuhbelas bab ketika tahun itu ditutup.
Juli 1905:
Di awal musim panas itu Stephen Hero berisi 21 bab.
Akhir September 1906:
James Joyce telah membulatkan tekad untuk mentransformasi Stephen Hero ke dalam bentuk yang lebih sesuai. Di sinilah Stephen Hero mulai dikonversi menjadi A Portrait of the Artist as a Young Man.
Sekitar 1908:
Joyce memberikan bab-bab awal A Portrait yang baru saja digarapnya kepada seorang murid kursus bahasa Inggrisnya, Ettore Schmitz, seorang Yahudi bos pabrik cat yang pernah menulis dua novel. Dari lelaki baya itu, Joyce menerima kritik tajam namun bersahabat sehingga dia membuat sejumlah perubahan minor dalam A Portrait. Kelak, dengan dorongan Joyce, Ettore Schmitz mulai menulis lagi dan menjadi salah seorang novelis Itali terbesar abad ke-20 dengan nama pena Italo Svevo.
April 1909:
Joyce mulai kenal writer’s block. Pikiran Joyce buntu, padahal sudah menyelesaikan tiga bab penuh A Portrait of the Artist. Dan tak lama kemudian manuskrip A Portrait dibungkus rapi dan mulai nangkring panjang di lemari kayunya.
Suatu pagi, 1911:
Manuskrip A Portrait dikeluarkan dari lemari kayu. Tapi bukan untuk dilanjutkan. Pada saat cekcok dengan Nora Barnacle, istrinya, Joyce sempat melemparkan manuskrip A Portrait of the Artist ke perapian! Eileen, adik Joyce yang waktu itu sudah ikut Joyce di Trieste, menyelamatkan manuskrip tersebut, meski dia harus rela jarinya melepuh terbakar.
Desember 1913:
Joyce menerima surat dari Ezra Pound. Ketika itu, penyair Amerika ini tinggal di Inggris, dia telah membantu karir perpuisian Robert Frost dan T.S. Eliot. Dalam suratnya Pound, yang kenal tahu nama Joyce dari W.B. Yeats, meminta Joyce mengirimkan sepilihan puisi dan prosa untuk dimuat di majalah-majalah dan jurnal-jurnal sastra yang dia editori di Inggris dan Amerika. Maka ketiga bab A Portrait dan satu salinan Dubliners (yang belum diterbitkan itu) dikirimlah.
2 Februari 1914:
Tepat pada ulang tahun Joyce yang ke 32, A Portrait mulai muncul secara serial dalam jurnal kecil Egoist yang diampu seorang feminis bernama Helen Marsden. Dengan target terbit secara serial ini, Joyce pun terpecut untuk merampungkan A Portrait. (Hal serupa terjadi pada Tuanku Seno Gumira Ajidarma yang telah mulai menggarap Negeri Senja pada thaun 1998 dan baru bisa merampungkannya setelah ada target dari Media Indonesia yang kala itu menerbitkan novel tersebut secara serial.)
Medio 1914:
James Joyce merampungkan A Portrait.
1915 – 1916
Lima penerbit menolak naskah A Portrait karena kuatir isinya yang blak-blakan itu akan membuat mereka dituntut karena kecabulan.
29 Desember 1916
A Portrait pertama kali diterbitkan, oleh penerbit Amerika W.B. Huebsch. Beberapa Minggu setelah penerbitan Dubliners di Amerika.
Isinya seperti apa? Sepertinya lebih asyik kalau dibahas secara terpisah.
Oleh: Wawan Eko Yulianto.
diposkan 14 Januari 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar