where people ngobrol joyce...

BAHNHOFSTRASSE The eyes that mock me sign the way Whereto I pass at eve of day. Grey way whose violet signals are The trysting and the twining star. Ah star of evil! star of pain! Highhearted youth comes not again Nor old heart`s wisdom yet to know The signs that mock me as I go. (james joyce)

Rabu, 05 Desember 2012

Membaca Ulang Ulysses



.setelah dua minggu lalu khatam Ulysses selama tiga tahun (28 Maret 2006 – 3 Maret 2009), kemudian klab baca Ulysses diliburkan selama dua minggu. Selasa lalu, 24 Maret 2009, pembacaan Ulysses dimulai dari halaman paling depan lagi. Selasa sore itu aku agak kaget, sebab di Yayasan Joyce tampak banyak orang. Saat bertemu Pak Kyai Senn, (julukanku sendiri untuk sang guru) aku tanya, “Ada baca Ulysses hari ini, kan?“ Dengan yakin, dia jawab, “Ya..ya, seperti biasa. Tapi duduknya di kursi yang bertanda reserve warna hijau.“
Tampak wajah-wajah baru kutatap di ruang sebelah. Sedang ruangan yang biasa untuk mengajiUlysses kosong, hanya meja putih sendiri, sementara kursi-kursinya sudah sirna. Setelah aku duduk di bangku belakang, seorang kawan baca asal Berlin bilang, “Ya di sini lah nanti pembukaan baca Ulysses. Soalnya event baca mulai dari awal disiarkan di koran.“ Dalam benakku terus merongrong rasa penasaran, masak sih….akan baca novel saja harus diumumkan ke koran? Pantas saja banyak orang datang. Kutafsir hadirin sore itu sekitar 25 orang. Tak kulihat ada anak muda satu pun. Semua tua, kakek atau nenek. Ditambahkan oleh Pak Senn, “Tradisi mengaji Ulysses ini dimulai sejak November 1992, satu novel butuh waktu tiga tahun untuk menamatkannya. Dan sampai kini non-stop, I don`t know why….? Kelakar ini memanen tawa dari hadirin.
Pak Kyai berdalih, “Tujuan kami membaca Ulysses untuk mencoba memahami isinya. Jika kalian mengerti, just keep it for your self.”
Tepat pukul 17.30, lonceng gereja bertalu, Pak Kyai Senn, menjelaskan lagi….
Kemarin aku diinterview oleh wartawan koran Tages Anzeiger. Eh…ternyata efeknya sekarang banyak yang hadir pada pembukaan bacaan Ulysses ini. Malah ada orang menelepon, kenapa tidak cari tempat yang lebih besar saja?“
Pak Kyai berambut pirang gondrong itu melucu dan disambut dengan tawa hadirin di ruangan sedikit redup itu. Kawanku di sebelah membisiki, “Paling-paling mereka itu tidak sampai ikut menekuni bacaan Ulysses hingga tamat.“ Aku mengamini, memang biasanya begitu, panas-panas tahi ayam berlaku pula. Sepintas aku melirik ke wajah-wajah baru di situ, mereka memangku novel Ulysses dari rumah. Ada yang baru beli, ada pula yang sudah kumal.
Terus terang ini pengalamanku pertama membaca Ulysses dari depan sekali di halaman pertama.Sebab 3 tahun lalu aku mulai ikut sudah di bab 18 (Penelope). Bab-bab yang sedang bermonolog-interior.
Kembali Pak Kyai Senn berbicara. Dia tunjukkan sebuah Ulysses warna hijau terang. Kata dia, “Ulysses ini terbitan pertama tahun 1922 oleh toko buku Shakespeare Company di Paris. Dan saat itu hanya dicetak terbatas sejumlah 1000 eksemplar. Kini buku yang 1000 itu sulit dicari dan harganya mahal.” Pada waktu yang bersamaan, fotokopian satu halaman bolak-balik tentang rencana membaca di halaman awal dibagikan. Pak Kyai melucu lagi, “Banyak orang hanya pura-pura baca novel ini dengan membawa ke sana kemari, biar dianggap intelek.” Lagi-lagi guyonan Pak Kyai menyulut tawa.
Seperti biasa, Pak Kyai Senn memberi ilustrasi singkat tentang teks-teks yang akan dijelajahi.Dia bilang, ”Di bab I (Telemachus) ini suasananya ada di Martello Tower, pantai Sandycove, Dublin. Ada tiga orang tinggal di menara itu, Heide, mahasiswa Inggris dari Oxford, Buch Mulligan, mahasiswa kedokteran dan Stephen Dedalus, seorang guru yang niveau intelektualnya tinggi. Setelah pengantar pendek dilontarkan, kini giliran mendengarkan CD.
Kalimat awalnya:
*Stately, plump Buck Mulligan came from the stairhead, bearing a bowl of lather on which a mirror and a razor lay crossed…..
Sampai satu paragraf berhenti dan dari kata ke kata dijelaskan ulang. Jika Pak Kyai ragu terhadap satu kata, dia menawarkan hadirin untuk menginterpretasikannya. Namun pada umumnya Pak Kyai paham. Maklum dunia Joyce sudah dia tekuni sejak tahun 1970-an. Nyaris sampai kini dia hanya ngutek-utek karya Joyce selama 39 tahun. Boleh dibilang separuh masa hidupnya diabdikan untuk karya sastra dan khusus karya Joyce, tidak lain dari itu. Kadang aku merasa kasihan, tangan kanannya sudah mulai buyutan. Maklumlah dia sudah berusia 80-an tahun.
Pada kalimat pembuka Ulysses di atas, Pak Kyai menerangkan, kalau ada dua adjektiva berurutan, sedang stairhead juga bisa dimaksudkan head of stair. Pada kalimat ketiga sudah ketabrak ungkapan bahasa Latin:
Introibo ad altare Dei
Menurut Annotated Ulysses karangan Don Gifford, itu ungkapan dari bahasa Latin yang artinya, “I will go up to the God`s altar.” Ungkapan ini sering dipakai pendeta di gereja.
Kalimat berikutnya,
–Come up, Kinch! Come up, you fearful Jesuit!
Kinch dari sumber lain kutemukan, artinya pisau. Kinch adalah julukan untuk Stephen Dedalus. Karena Stephen otaknya cemerlang, diibaratkan dengan pisau.
Bertemu lagi dengan nama Chrysostomos. Seorang ahli retorik Yunani kuno.
Ada pembuka kalimat lagi:
–Back to Barracks!
Dijelaskan, setting novel ini tahun 1904, dimana Irlandia masih dalam koloni Inggris. Back to Barrack sebuah sindiran terhadap Inggris raya, di tempat setting novel itu tidak ada barak militer.
Pada kalimat selanjutnya:
–Tell me, Mulligan, Stephen said quietly.
Dijelaskan oleh Pak Senn, bahwa model pembuka “Tell me, …itu khas bentuk Odyssey yang dipakai oleh Homer.
Pada kalimat selanjutnya, bertemu kata black panther, dan diterangkan, patung black panther itu kini tersimpan di Martello Tower yang dijadikan Museum James Joyce di Sandycove, Dublin.
Mulligan juga dijuluki dengan nama depan Malachi Mulligan. Malachi adalah the name of the last book of the Christian Bible`s Old Testament. Bisa pula Malachi  berarti nabi dalam agama Yahudi.
Ada lagi kata Kingstown, Pak Senn memberitahu, bahwa kota itu ada di selatan Dublin.
Yang paling kuanggap seru, saat ada ungkapan: Thalatta! Thalatta!
Pak Kyai menjelaskan, “Thalatta, Thalatta itu suara gemuruh laut, saat Odysseus kembali ke Ithaka. Pada bahasa Yunani terdapat berbagai perbedaan dialek mengucapkan Thalatta, Thalatta. Lalu Pak Kyai membagi pengalamannya, ketika dirinya ke Yunani diberitahu, jika orang Yunani hendak dianggap intelek, cukup bilang, `Thalatta, Thalatta.” Gurauan ini mencairkan suasana yang semakin bertegangan tinggi.
Ketika menemukan kalimat: I`am hyberborean as much as you. Pak Senn menambahkan, bahwa ungkapan itu berasal dari Zarathustra-nya Nietzsche, superman-übermensch.



Sebelum acara berakhir, ada seorang ibu gemuk terbatuk-batuk dan undur diri sebentar. Juga sebuah telepon genggam berdering, akhirnya pemilik telepon itu lari keluar terbirit-birit sedikit malu. Sebelum novel Ulysses aku tutup, aku coba hitung berapa halaman sih selama 1,5 jam membaca tadi? Dari pukul 17.30 sampai 19.00 itu hanya bisa membaca selama 3 halaman lebih satu paragraf kecil.
Hemmm,…..hitung-hitung, pintu dari awal Ulysses sudah terbuka menganga. Kalau tiga tahun lalu aku memulai dari ekor, kini dari kepala. Tinggal bagaimana lagi mengatami yang kedua kali. Pak Kyai berpesan, please don`t  forget to write something nice on the guest-book.
Tepuk tangan lirih menutup acara itu. Sebelum mengambil jaket di gantungan, aku bubuhkan kesan dalam buku tamu dalam tulisan bahasa Indonesia: Awal Membaca Ulysses, Terima Kasih., 3/3-2009.
-0O0-
diposkan 29 Oktober 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar